Sabtu, 22 Februari 2020

PENATAAN BANGUNAN LAUT


Pembangunan kelautan hingga saat ini masih menghadapi berbagai kendala di dalam pelaksanaannya. Kendala tersebut dapat ditemukan, baik pada lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, serta pengendalian. Oleh karena itu diperlukan regulasi yang secara komprehensif mengatur keterpaduan berbagai kepentingan di wilayah laut.

Pengelolaan bangunan laut, pipa dan kabel bawah laut pada saat ini masih memerlukan pengendalian. Sebagai contoh dampak pembangunan struktur pantai yang menimbulkan masalah erosi pantai karena belum mempertimbangkan kelestarian sumberdaya pesisir. Contoh lain adalah pemenafaatan offshore platform/instalasi lepas pantai lainnya yang sudah tidak beroperasi perlu pengaturan lenih lanjut. Selain itu pengaturan penggelaran pipa dan kabel bawah laut masih memerlukan sinkronisasi antar pihak-pihak terkait dengan memperhatikan tata ruang wilayah laut secara komprehensif.

Dari sisi regulasi terdapat madat undang-undang untuk menata bangunan laut, pipa dan kabel bawah laut. Mandat ini berasal dari Undang-Undang No.1 Tahun 2014 tentang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan PP. 75 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Yang Berlaku Pada Kementerian Kelautan dan Perikanan

Undang-Undang No 1 Tahun 2014 merupakan payung hukum untuk mengatur pemanfaatan laut secara komprehensif dan terintegrasi. Kehadiran Undang-Undang No 1 Tahun 2014 ini semakin mempertegas keterpaduan kebijakan dan peraturan yang ada. Kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang sebelumnya diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, disempurnakan melalui Undang-Undang No 1 Tahun 2014 ini. Karena pengaturan kegiatan yang berlangsung di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil sudah seharusnya melibatkan KKP sebagai instansi yang dapat memberikan jaminan hukum, teknis dan operasional bahwa suatu jenis kegiatan di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil adalah tidak merusak ekosistem hayati dan non-hayati.

Wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil sendiri pada dasarnya merupakan wilayah yang terbuka untuk semua kepentingan, sektoral dan publik. Sehingga dapat dipastikan terdapat kegiatan-kegiatan yang menjadi wewenang dari Kementerian/Lembaga lain yang akan beririsan dengan KKP. Kegiatan-kegiatan ini sesuai dengan Pasal 19 Undang-Undang No 1 Tahun 2014 adalah Produksi Garam, Biofarmakologi Laut, Bioteknologi Laut, Pemanfaatan Air Laut selain Energi, Wisata Bahari, Pemasangan Pipa Bawah Laut dan Kabel Bawah Laut, Pengangkatan Benda Muatan Kapal Tenggelam; dan juga dalam Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang No 1 Tahun 2014 yaitu Konservasi, Pendidikan dan Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan, Budidaya Laut, Pariwisata, Usaha Perikanan dan Kelautan serta Industri Perikanan secara lestari, Pertanian Organik, Peternakan, dan Pertahanan dan Keamanan Negara.

Bangunan laut, pipa dan kabel bawah laut, sebagaimana terdapat dalam Pasal 19 Undang-Undang No 1 Tahun 2014 merupakan suatu wilayah kewenangan yang tidak hanya milik KKP, namun juga lintas Kementerian dan Lembaga, yaitu Kementerian Perhubungan, Kementerian Komunikasi, Telekomunikasi dan Informatika, Perusahaan Listrik Negara, TNI-Angkatan Laut, dan sektor-sektor lainnya. Luasnya singgungan kewenangan ini tidak pernah terpetakan sebelumnya, sehingga berpotensi mengakibatkan bias kebijakan pengelolaan. Suatu hal yang sangat mengkhawatirkan, mengingat kabel bawah laut adalah suatu kegiatan yang bernilai strategis nasional. Dengan demikian upaya penyelarasan lingkup kewenangan masing-masing dalam satu pemahaman bersama untuk kepentingan nasional harus dibangun.

UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan pasal 32 ayat 1 sampai 5 menyatakan (1) Dalam rangka keselamatan pelayaran semua bentuk bangunan dan instalasi di Laut tidak mengganggu, baik Alur Pelayaran maupun Alur Laut Kepulauan Indonesia; (2) Area operasi dari bangunan dan instalasi di Laut tidak melebihi daerah keselamatan yang telah ditentukan; (3) Penggunaan area operasional dari bangunan dan instalasi di Laut yang melebihi daerah keselamatan yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan izin dari pihak yang berwenang; (4) Pendirian dan/atau penempatan bangunan Laut wajib mempertimbangkan kelestarian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil; (5) Ketentuan mengenai kriteria, persyaratan, dan mekanisme pendirian dan/atau penempatan bangunan di Laut diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Yang Berlaku Pada Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk dilakukan penyesuaian Jenis dan tarif atas PNBP pada Kementerian Kelautan dan Perikanan salah satunya kegiatan bangunan laut, pipa dan kabel bawah laut.

Pemerintah berkewajiban melakukan pengelolaan kelautan melalui pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya kelautan. Berdasarkan PP Nomor 75 tahun 2015 tentang PNBP lingkup KKP, Bentuk pengusahaan sumber daya kelautan dapat berupa industri kelautan, wisata bahari, perhubungan laut, dan bangunan laut. Bangunan laut, sebagaimana terdapat dalam Pasal 14 ayat 3 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 merupakan suatu wilayah kewenangan yang tidak hanya milik KKP, namun juga lintas Kementerian dan Lembaga, yaitu Kementerian Perhubungan, Kementerian PU dan Perumahan Rakyat, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Telekomunikasi dan Informatika, SKK Migas, TNI-Angkatan Laut, dan sektor-sektor lainnya. Luasnya singgungan kewenangan ini tidak pernah terpetakan sebelumnya, sehingga berpotensi mengakibatkan bias kebijakan pengelolaan. Dengan demikian upaya penyelarasan lingkup kewenangan masing-masing dalam satu pemahaman bersama untuk kepentingan nasional harus dibangun

Kamis, 31 Maret 2016

FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD) ITS

Materi :

  1. Sinergitas Penataan Bangunan, Pipa Kabel Bawah laut Menuju Keberlanjutan Pengelolaan Ruang laut
  2. Penataan Bangunan Laut, Pipa dan Kabel Bawah Laut (Aspek Lingkungan)
  3. Aspek Risiko dan Pemantauan dengan AIS (Automatic Identification System)
  4. Bangunan Lepas Pantai
  5. Aspek Hukum Penataan Bangunan Bawah Laut
  6. Construction And Instalation Of Submarine Pipeline
  7. Penataan Bangunan Pantai

Rabu, 30 Maret 2016

FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD) ITB

Materi :
1. Bangunan Pantai dan Bangunan Lepas Pantai
2. Kriteria Ideal (?) Penempatan Pipa dan Kabel Bawah Laut
3. Pertimbangan Teknis Bangunan Pantai
4. Pipa Penyalur Bawah Laut (Subsea Pipeline)
5. Survey Laut Indonesia Dalam Kegiatan Bangunan Laut, Pipa dan Kabel Bawah Laut

FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD) IPB


Materi FGD
1. Penilaian Ekonomi Dalam Pembuatan Bangunan dan Instalasi Laut
2. Pertimbangan Sosial Ekonomi Penataan Bangunan Laut, Piupa dan Kabel Bawah Laut
3. Pemanfaatan Pipa Kabel Bawah Laut (Ecological Perspective)
4. Izin Lingkungan Untuk Bangunan Laut dan Instalasi Bawah Laut

Selasa, 01 Maret 2016

BANGUNAN LEPAS PANTAI



Bangunan / Anjungan lepas pantai (Offshore Platform/Offshore Rig) adalah struktur atau bangunan yang di bangun di lepas pantai untuk mendukung proses eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang maupun mineral alam.
Fungsi utama dari bangunan lepas pantai adalah untuk eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi. Adapun faktor lingkungan laut yang berpengaruh untuk rancangan struktur bangunan laut terdiri dari kedalaman perairan, angin, gelombang, arus, kondisi dasar laut, penggerusan dan tektonik (gempa bumi).
Bangunan Lepas pantai biasanya memiliki Rig pengeboran yang mempunyai fungsi untuk analaisa sifat geologis reservoir maupun lubang untuk mengambil bahan tambang seperti minyak. Dengan kemajuan teknologi dan meningkatnya harga minyak mentah banyak perusahaan yang melakukan pengeboran diperairan yang lebih dalam yang layak dan sangat ekonomis. dan kira-kira perusahaan pengeboran memiliki sekitar 30 mata bor agarkan pengeboran dapat dilakukan secara bersamaan.
Kebanyakan anjungan tersebut terletak di lepas pantai dari landas kontinen, meskipun dengan kemajuan teknologi dan meningkatnya harga minyak mentah, pengeboran dan produksi di perairan yang lebih dalam telah menjadi lebih baik, layak dan ekonomis. Sebuah anjungan yang khas mungkin memiliki sekitar tiga puluh mata bor, pengeboran yang terarah memungkinkan sumur bor dapat diakses pada dua kedalaman yang berbeda dan juga pada posisi terpencil sampai 5 mil (8 kilometer) dari platform. Sumur bawah laut yang jauh juga dapat dihubungkan ke anjungan dengan garis aliran dan koneksi pusar. Solusi bawah laut dapat terdiri dari sumur tunggal ataupun dengan pusat manifold (pipa dengan mulut lubang yg banyak) untuk digunakan pada beberapa pengeboran.

Jenis bangunan lepas pantai :

1. Fixed platform
Platform ini dibangun di atas kaki baja (jacket leg) atau beton, atau keduanya, tertanam langsung ke dasar laut, menopang bangunan atas (dek/topside) dengan ruang untuk rig pengeboran, fasilitas produksi dan tempat tinggal pekerja. Platform tersebut, berdasarkan kekakuannya, dirancang untuk penggunaan waktu yang sangat panjang (hingga 50 tahun). Berbagai jenis struktur yang digunakan, kaki baja, beton caisson, baja dan bahkan beton mengambang. Kaki baja (jacket leg) bagian vertikal tersusun dari baja tubular, dan biasanya dipaku bumi ke dasar laut. Fixed platform layak secara ekonomi untuk instalasi di kedalaman air hingga sekitar 1.700 kaki (520 m).


2. Compliant tower
Platform ini terdiri dari menara fleksibel ramping dan pondasi tiang yang mendukung dek konvensional untuk operasi pengeboran dan produksi. Compliant tower dirancang untuk mempertahankan defleksi dan beban lateral yang signifikan, dan biasanya digunakan di kedalaman air berkisar antara 1.200 sampai 3.000 kaki (370-910 m).

3. Semi-submersible platform
Platform ini memiliki lambung (kolom dan ponton) apung yang cukup membuat struktur untuk mengapung (seperti kapal), tetapi juga cukup berat untuk menjaga struktur tetap tegak dan stabil. Semi-submersible platform dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, dapat dinaikkan atau diturunkan dengan mengubah jumlah air di tangki apung. Platform ini umumnya ditambatkan dengan kombinasi tali rantai, kawat atau tali polyester, atau keduanya, selama pengeboran atau produksi operasi, atau keduanya, meskipun dapat dijaga posisinya dengan menggunakan sistem dynamic positioning. Semi-submersible dapat digunakan di kedalaman air dari 200 sampai 10.000 kaki (60 sampai 3.000 m).


4. Jack-up drilling rig
Jack-up Drilling Unit yang dapat berpindah (atau biasa disebut jack-up), seperti namanya, adalah rig yang bisa didongkrak di atas laut dengan menggunakan kaki-kaki yang dapat diturunkan, seperti jack. Platform ini biasanya digunakan di kedalaman air hingga 400 kaki (120 m), meskipun beberapa desain bisa digunakan pada kedalaman 550 ft (170 m). Platform ini dirancang untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan kemudian menancapkan dirinya dengan mengerahkan kaki ke dasar laut menggunakan roda gigi (gearbox) di setiap kaki.


5. Drillships
Drillship adalah kapal maritim yang telah dilengkapi dengan peralatan pengeboran. Platform ini paling sering digunakan untuk eksplorasi pengeboran minyak baru atau sumur gas di perairan dalam, tetapi juga dapat digunakan untuk pengeboran ilmiah. Versi awal dibangun pada lambung kapal tanker yang dimodifikasi, namun desain yang sesuai dengan tujuannya sudah digunakan saat ini. Drillship Kebanyakan dilengkapi dengan sistem positioning yang dinamis (dynamic positioning) untuk mempertahankan posisi di atas sumur yang dibor. Drillship dapat mengebor di kedalaman air hingga 12.000 ft (3.700 m).


6. Floating production systems
FPSO (floating production, storage, dan offloading system) terdiri dari struktur monohull besar, pada umumnya (tetapi tidak selalu) berbentuk kapal, dilengkapi dengan fasilitas pengolahan minyak dan gas bumi. Platform ini ditambat ke lokasi untuk waktu yang lama, dan tidak benar-benar mengebor minyak atau gas. Beberapa varian dari aplikasi ini, yang disebut FSO (floating storage offloading) atau FSU (floating storage unit), yang digunakan secara eksklusif untuk tujuan penyimpanan, dan hanya memiliki peralatan proses yang sangat sedikit. 


7. Tension-leg platform
TLP adalah platform mengambang yang ditambatkan ke dasar laut untuk menghilangkan gerakan yang paling vertikal pada struktur. TLP digunakan di kedalaman air hingga sekitar 6.000 kaki (2.000 m). TLP "konvensional" adalah desain 4-kolom yang terlihat mirip dengan semisubmersible. 


8. Gravity-based structure (GBS)
Sebuah GBS dapat terbuat dari baja atau beton dan biasanya tertanam langsung ke dasar laut. GBS baja banyak digunakan ketika terdapat ketidaktersediaan atau keterbatasan kapal tongkang derek untuk menginstal platform lepas pantai tetap (fix platform). GBS baja biasanya tidak menyediakan kemampuan penyimpanan hidrokarbon. GBS baja diinstal dengan menariknya dari lapangan fabrikasi, baik dengan penarikan basah (wet towing) atau penarikan kering (dry towing), dan pemasangan sendiri dengan ballasting yang dikendalikan dari kompartemen dengan air laut. Untuk posisi GBS selama instalasi, GBS dapat dihubungkan ke salah satu tongkang transportasi atau kapal tongkang lainnya (asalkan itu cukup besar untuk mendukung GBS) menggunakan jack strand. Jack akan dirilis secara bertahap sementara GBS menyesuaikan ballasting untuk memastikan bahwa GBS tidak bergerak terlalu banyak dari lokasi target.


9. Spar platform
Spar tertambat ke dasar laut seperti TLP, namun TLP memiliki tether (tendon) tegang vertikal, sedangkan spar memiliki tali tambat yang lebih konvensional. Spar telah dirancang dalam tiga konfigurasi: lambung silindris tunggal konvensional, "truss spar" di mana bagian tengah terdiri dari elemen truss menghubungkan lambung apung atas (disebut tangki keras) dengan tangki lembut bawah mengandung ballast permanen, dan "spar sel" yang dibangun dari silinder vertikal ganda. Spar memiliki stabilitas lebih tinggi daripada TLP karena memiliki penyeimbang yang besar di bagian bawah dan tidak tergantung pada tambatan untuk menahan tegak. Spar juga memiliki kemampuan, dengan menyesuaikan ketegangan mooring line (menggunakan chain-jack melekat pada tali tambat), bergerak horizontal dan memposisikan diri di atas sumur agak jauh dari lokasi platform utama.